Sebagian dari kalian sudah pernah mendengar bahwasanya Indonesia pernah mengalami beberapa kali krisis mulai dari krisis moneter atau krisis finansial asia di tahun 1998, selain itu ada juga krisis finansial global yang terjadi di tahun 2008 dan terakhir adalah resesi global akibat pandemi covid-19 yang terjadi di tahun 2020 ini. Resesi global di tahun 2020 kalian semua pasti tahu dan lebih mengerti penyebab dan dampaknya, akan tetapi bagaimana dengan krisis moneter di Asia tahun 1998 dan krisis finansial global di tahun 2008?
Waktu tahun 1998 dan 2008 tidak ada wabah pandemi covid-19 yang menyebabkan perdagangan dan produksi terhambat, namun pada tahun tersebut terjadi krisis. Apa penyebab, dampak, serta perbedaan dari krisis moneter tahun 1998, krisis finansial tahun 2008 dan resesi global di tahun 2020. Di tahun 2020 menjadi kejutan yang sangat luar biasa, bukan hanya bagi dunia kesehatan tetapi juga bagi dunia ekonomi dan perdagangan di seluruh dunia karena nyatanya pandemi ini tidak cuma menyerang pada kesehatan manusia yang menyebabkan kematian, tetapi turut menyerang ekonomi karena miliaran orang di dunia tiba-tiba saja terganggu aktivitasnya akibat kebijakan lockdown dan pembatasan aktivitas lainnya. Hal ini menyebabkan banyak sektor industri dan perdagangan mengalami penurunan luar biasa parah khususnya industri pariwisata dan turunannya misalnya bisnis transportasi, penginapan, restoran, tempat hiburan, serta segala bentuk bisnis yang membutuhkan kehadiran orang secara fisik dalam jumlah banyak. Perlambatan aktivitas ekonomi seperti perdagangan dan konsumsi ini terpotret dari tingkat GDP (Gross Domestic Product) perkuartal sepanjang tahun 2020 mengalami penurunan tajam di berbagai belahan dunia sampai akhirnya menyebabkan banyak negara mencapai fase resesi ekonomi, termasuk Indonesia.
Krisis finansial di tahun 2008 bermula dari tekanan ekonomi di sektor riil atau industri perdagangan, krisis di tahun 2008, bermula dari sektor finansial yang dipicu oleh penyaluran kredit KPR di Amerika yang naik sangat besar sehingga banyak masyarakat di Amerika tidak sanggup membayar tagihan KPR mereka, hal ini menyebabkan aliran dana di institusi keuangan seluruh dunia macet dengan status utang, jaminan dan asuransi yang frustasi sampai banyak pihak di industri keuangan akhirnya saling tunjuk dan saling menyalahkan satu sama lain. Ilustrasi dari permasalahan ini secara sederhana dapat digambarkan bahwa kebanyakan orang di Amerika itu ingin memiliki rumah sendiri, jadi wajar jika banyak masyarakat di Amerika mengajukan KPR supaya bisa membeli rumah dengan cara mencicil. Masalahnya, industri kredit perbankan di Amerika di tahun-tahun tersebut tidak begitu ketat untuk mengawasi kelayakan kredit dari masyarakatnya. Sistem seleksi dari perbankan pun tidak berjalan dengan baik, masyarakat yang pekerjaannya belum jelas, orang yang kerjanya serabutan, bahkan imigran yang belum punya pekerjaan tetap bisa mengajukan KPR dengan gampang. Ditambah lagi para marketing kredit rumah hanya berfokus untuk mengejar bonus penjualan yang mereka dapatkan, jika berhasil menjual rumah KPR tersebut. Ironisnya, kredit KPR yang tidak sehat ini dirasionalisasikan dengan harga perumahan yang terus melonjak tinggi selama bertahun-tahun di Amerika.
Hal ini menyebabkan banyak masyarakat semakin ingin cepat-cepat punya rumah dengan mengambil KPR sebelum harga rumah semakin mahal, bahkan jika terjadi kenaikan harga perumahan di Amerika, jadi kalau ada orang yang tidak sanggup melanjutkan pembayaran KPR, maka penjualan rumahnya itu sudah lebih dari cukup untuk melunasi hutang kreditnya. Dengan logika seperti itu semakin banyak masyarakat yang terus ingin membeli rumah dengan sistem KPR, termasuk golongan masyarakat yang seharusnya belum layak untuk mendapatkan kredit KPR tersebut. Masyarakata di Amerika pada umumnya menganggap kenaikan harga rumah tersebut sebagai sesuatu yang terus-menerus terjadi, sehingga banyak institusi keuangan di Amerika yang menjaminkan surat utang kredit rumah sebagai bagian dari portofolio investasi yang dijual ke nasabah ritel.
Karena harga rumah terus semakin naik maka harga surat berharga yang berisi jaminan utang kredit itu juga makin diminati investor dan harganya juga terus bertumbuh naik. Belum lagi, risiko kredit macet di Amerika juga dijaminkan kepada banyak institusi asuransi raksasa bahkan dijamin juga oleh negara Amerika. Masalah tersebut menjadi semakin berat karena aturan baru presiden Bill Clinton waktu itu yang memungkinkan bank tabungan untuk turut berpartisipasi dalam investasi berisiko tinggi (seperti KPR berisiko tinggi, atau dengan kata lain subprime mortgage) yang sebelumnya terbatas hanya untuk bank investasi, sehingga uang tabungan rakyat amerika juga turut dipertaruhkan dari semua gejala tadi, alhasil banyak hutang kredit yang tidak sanggup dilunasi khususnya dari golongan masyarakat yang “memang harusnya belum layak” mengajukan kredit sehingga ketika kredit tersebut macet dan semakin banyak, industri perbankan di Amerika mengalami krisis likuiditas dengan status jutaan utang kredit yang macet. Hal ini, berdampak secara sistemik pada hancurnya produk-produk investasi seperti reksadana yang berisi jaminan utang kredit KPR, sehingga banyak perusahaan asuransi di seluruh dunia yang tidak sanggup menanggung klaim asuransi bertumpuk sangat banyak melampaui kemampuan likuiditas perusahaan-perusahaan asuransi tersebut.
Semua kekacauan pada industri keuangan ini, juga berdampak pada kepanikan para investor di bursa saham yang menarik dana mereka sampai akhirnya menyebabkan kejatuhan harga saham di seluruh dunia termasuk Indonesia yakni krisis finansial Asia di tahun 1997-1998 atau kalau di Indonesia itu lebih populer dengan nama Krisis moneter atau krismon tahun 1998.
Kalian tentu masih ingat, membaca atau pernah mendengar kejadian di tahun 1998, dimana banyak berita mencekam baik dari sisi politik, demonstrasi mahasiswa, sampai nilai tukar rupiah yang sangat anjlok dari yang tadinya tuh $1 dollar setara dengan Rp. 2000,- nilainya menyusut sampai $1 dollar itu sama dengan Rp. 16.000,- gara-gara penurunan nilai rupiah yang sangat tajam. Ada banyak bank dan perusahaan yang bangkrut di Indonesia sebetulnya. Pemicu krisis moneter tahun 1998 jika dilihat dari keadaan ekonomi waktu itu bermula dari krisis negara tetangga yakni Thailand.
Di awal tahun 1990an, ada ketimpangan antara suku bunga bank di Thailand dengan negara-negara lain khususnya sama negara Jepang. Jadi saat itu, suku bunga di Thailand sangat tinggi sampe 10%, sementara suku bunga di negara Jepang sangat rendah ada di level 2% per tahun. Kondisi tersebut akhirnya membuat beberapa pengusaha di Thailand membuat skema bisnis yang memanfaatkan ketimpangan suku bunga antar kedua negara tersebut. Sederhananya dengan membuat perusahaan VALAS atau FOREX, perusahaan tersebut meminjam uang dalam jumlah besar ke Jepang dengan pengembalian bunga yang rendah kemudian dana tersebut didistribusikan menjadi utang kredit di Thailand dengan pengembalian bunga yang tinggi. Awalnya, aliran dana segar buat para UMKM dan masyarakat Thailand terlihat positif karena pertumbuhan ekonomi di Thailand tumbuh di atas 8% di awal tahun 1990an khususnya di industri export. Thailand semakin produktif menjual hasil produksi dalam negerinya ke pasar luar negeri. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi di Thailand juga membuat masyarakatnya mulai gencar belanja barang-barang impor dari luar negeri yang tujuannya untuk meningkatkan permintaan mata uang asing dalam perdagangan negara Thailand sampai akhirnya di tahun 1995, Thailand mengalami persaingan bisnis export dengan China. Keuntungan bisnis export Thailand mengalami penurunan dan perusahaan yang minjam uang Yen Jepang lewat perusahaan Forex tersebut semakin kesulitan untuk membayar utang-utangnya yang berbunga cukup tinggi.
Dengan semakin menurunnya industri export dan kredit, utang macet yang semakin membengkak pemerintah Thailand akhirnya mengambil kebijakan untuk membantu pelunasan kredit macet tersebut dengan memakai cadangan devisa mata uang asing milik pemerintah Thailand. Di sisi lain, Thailand pada saat itu memberlakukan kebijakan moneter dengan mematok nilai tukar mata uang Baht dengan USD pada level yang stabil. Jadi secara teknis hal ini bisa dilakukan dengan mengorbankan cadangan devisa negara, artinya pemerintah Thailand memakai cadangan devisa negara untuk mengintervensi tingkat fluktuasi permintaan Baht terhadap USD sehingga akhirnya pemerintah Thailand mengeluarkan cadangan devisa dolarnya dalam jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi bursa perdagangan mata uang sehingga menguatkan mata uang Baht. Masalahnya cadangan devisa negara Thailand tentu ada batasnya dan tidak mungkin selamanya bisa menahan kredit macet dengan cara menstabilkan nilai mata uang Baht sehingga akhirnya apa yang terjadi?
Pada tanggal 02 Juli 1997 pemerintah thailand mencabut kebijakannya untuk menstabilkan nilai tukar Baht, sehingga nilai tukarnya dibiarkan berfluktuasi berdasarkan permintaan dan penawaran di bursa perdagangan mata uang. Akibatnya, nilai Baht turun 20% hari itu juga. Hal ini mengakibatkan kepanikan besar di Asia akibat menurunnya nilai mata uang Thailand drastis dalam waktu singkat sehingga menimbulkan reaksi berantai di kalangan investor termasuk para investor yang menanam uangnya di Indonesia, Malaysia, dan negara-negara berkembang di Asia.
Nilai tukar Rupiah tuh langsung menghadapi tekanan jual yang sangat tinggi di pasar keuangan Bank sentral sehingga banyak negara asia, harus menguras cadangan devisanya jika mau menstabilkan nilai mata uang negaranya dengan kemampuan yang terbatas. Dalam Rupiah, Bank Indonesia terpaksa membuat nilai Rupiah mengambang bebas tanggal 14 Agustus 1997 Nilai rupiah pun terjun bebas dari yang tadinya Rp. 2000,- per Dollar AS sampai akhirnya sempat tembus Rp. 16.000 per Dollar AS. Anjloknya nilai tukar Rupiah di tahun 1997-1998 membuat dampak sistemik yang luar biasa buat banyak perusahaan dan institusi finansial yang punya hutang dalam bentuk dollar. Kalian bisa membayangkan sebuah perusahaan yang tadinya mempunyai utang sebesar Rp. 2 Miliar, dalam waktu singkat Perusahaan tersebut mempunyai utang sebesar Rp. 16 Miliar. Hal itulah yang menyebabkan perusahaan jatuh bangkrut termasuk banyak lembaga perbankan di Indonesia. Itulah cerita singkat tentang 3 krisis yang pernah kita alami bersama selama 24 tahun terakhir semoga menambah wawasan dan pengetahuan.